Label: cerai
Memprihatinkan, kasus perceraian di Indonesia sudah mencapai angka yang mengkhawatirkan. Dan jika dilihat lebih dalam lagi, ternyata yang paling banyak mengajukan cerai adalah pihak istri atau yang biasa disebut dengan cerai gugat. Nampaknya, perceraian masih menjadi pilihan utama untuk menyelesaikan permasalahan dalam konflik rumah tangga.
Saat ada masalah sedikit saja, kata “cerai” mudah terdengar sebagai alternatif penyelesaian. Padahal perceraian senantiasa membawa dampak yang mendalam bagi anggota keluarga, meskipun tidak semua perceraian berdampak negatif.
Dari berbagai pemicu terjadinya perceraian dapat diringkas sebagai berikut:
1. Tidak dipahaminya tujuan pembentukan keluarga.
Pernikahan memiliki beberapa tujuan mulia, yaitu untuk mewujudkan mawaddah dan rahmah, yakni terjalinnya cinta kasih dan tergapainya ketentraman hati; melanjutkan keturunan dan menghindarkan dosa; mempererat tali silaturahmi; sebagai sarana dakwah dan menggapai mardhotillah. Kesepahaman tentang tujuan pernikahan sesungguhnya akan menjadi perekat kokoh sebuah pernikahan.
Pernikahan memiliki beberapa tujuan mulia, yaitu untuk mewujudkan mawaddah dan rahmah, yakni terjalinnya cinta kasih dan tergapainya ketentraman hati; melanjutkan keturunan dan menghindarkan dosa; mempererat tali silaturahmi; sebagai sarana dakwah dan menggapai mardhotillah. Kesepahaman tentang tujuan pernikahan sesungguhnya akan menjadi perekat kokoh sebuah pernikahan.
2. Adanya ketimpangan antara hak dan kewajiban.
Islam mengatur dengan sangat jelas hak dan kewajiban suami-istri, orang tua dan anak, serta hubungan dengan keluarga yang lain. Setiap kewajiban akan dimintai pertanggungjawabannya. Dan sebagai sebuah ibadah, pernikahan haruslah dipandang sebagai bagian dari amal sholih untuk menciptakan pahala sebanyak-banyaknya, melalui pelaksanaan hak dan kewajiban masing-masing dengan sebaik-baiknya.
3. Terabaikannya fungsi keluarga.
Setiap keluarga muslim semestinya berfungsi sebagai ‘masjid’ yang memberikan pengalaman beragama bagi anggota-anggotanya. Sebagai ‘madrasah’ yang mengajarkan norma-norma Islam, sebagai ‘benteng’ yang melindungi anggota keluarga dari berbagai gangguan dan sebagai ‘rumah sakit’ yang memelihara dan merawat kesehatan fisik dan psikologis anggota keluarga. Dari keluarga juga akan dilahirkan kader-kader pejuang penegak risalah Islam. Ketika fungsi-fungsi ini tidak berjalan dengan baik, cepat atau lambat keluarga itu akan menuju jurang perceraian.
4. Tak lagi merasakan kebahagiaan.
Keluarga sakinah adalah keluarga dengan enam kebahagiaan yang lahir dari usaha keras pasangan suami-istri dalam memenuhi semua hak dan kewajiban. Enam kebahagiaan yang dimaksud adalah kebahagiaan finansial, seksual, intelektual, moral, spiritual dan ideologis. Mana dari enam kebahagiaan itu yang utama? Itu bergantung pada persepsi dan pemahaman pasangan suami-istri.
Keluarga Rasulullah dibangun dalam kerangka perjuangan. Inilah keluarga teladan dengan kebahagiaan ideologis. Berdasarkan riwayat-riwayat yang sangat jelas, Rasul juga mampu menciptakan bagi keluarganya kebahagiaan intelektual, moral, spiritual, bahkan pula seksual. Secara finansial, Rasul memang hidup dengan kesahajaan. Namun, siapa sangka mereka juga ternyata merasakan kebahagiaan financial. Sebabnya, kebahagiaan yang terakhir ini tidak ditentukan oleh jumlah harta yang dimiliki, tetapi oleh perasaan qona’ah (perasaan cukup) atas rezeki yang Allah karuniakan.
Mempertahankan Keutuhan
Tak selamanya pernikahan berjalan mulus. Adakalanya guncangan atau bahkan badai menerpa bahtera rumah tangga. Keutuhan keluarga pun terancam hancur. Pada saat hal tersebut terjadi, beberapa langkah yang mesti dilakukan adalah :
- Sabar.
Kesabaran merupakan langkah utama ketika mulai muncul perselisihan dalam keluarga. Islam memerintahkan kepada suami-istri agar bergaul dengan cara yang baik serta mendorong mereka untuk bersabar dengan keadaan masing-masing. Sebab, boleh jadi di dalamnya terdapat kebaikan-kebaikan (QS. An-Nisa : 19).
- Selanjutnya, sangat penting menjaga pintu dialog.
Dialog dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan-hambatan psikis. Kadang masalah muncul bukan karena tidak ada kecocokan pada kedua belah pihak, melainkan karena sangat kurangnya kesempatan bagi keduanya untuk berbincang-bincang. Keterusterangan masing-masing pasutri, memang diperlukan dalam kehidupan berumah-tangga. Di samping tentunya, penting tetap menjaga sikap tidak mudah tersinggung ketika mendapat masukan atau teguran dari salah satu pasangan kita.
Dengan kata lain, masing-masing pasangan hendaknya saling menghormati dan sebaiknya berkata santun tatkala mengekspresikan ketidakpuasannya. Satu hal yang barangkali bisa kita jadikan bahan introspeksi. Kita sering bisa menahan emosi dan hormat pada orang lain. Atau berusaha untuk tidak menyinggung perasaan orang lain. Tapi kenapa kita begitu mudah dan ringannya meremehkan dan menyinggung perasaan pasangan kita? Itupun sering kita lakukan seakan-akan tanpa beban, tanpa perasaan bersalah (guilty feeling). Sehingga kita melakukannya berulang-ulang.
- Jika konflik antara suami-istri memang sudah tidak mampu diatasi berdua, sementara keadaan semakin runcing, maka kehadiran pihak ketiga sebagai penengah sangat diperlukan.
Firman Allah : “Jika kalian khawatir ada persengketaan diantara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. An-Nisa’ : 35)
Memilih Bercerai
Sebagaimana pernikahan, perceraian adalah solusi bagi masalah dalam rumah tangga. Sebagai solusi, perceraian boleh saja dilakukan tetapi tentu saja dengan cara yang baik dan benar agar tidak justru menimbulkan masalah baru (QS. Al-Baqarah :229).
Perceraian sering berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk di dalamnya anak-anak. Pada umumnya orang tua yang bercerai akan lebih siap menghadapi perceraian daripada anak-anak.
Perceraian sering berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk di dalamnya anak-anak. Pada umumnya orang tua yang bercerai akan lebih siap menghadapi perceraian daripada anak-anak.
Hal ini terjadi karena biasanya perceraian sudah didahului proses berpikir dan pertimbangan yang panjang sehingga ada persiapan mental dan fisik. Namun tidak demikian halnya dengan anak-anak. Mereka tiba-tiba harus menerima keputusan tanpa sebelumnya memiliki bayangan bahwa hidup mereka akan berubah.Karena itu usahakan tetap menjadi tempat bagi anak untuk mendapatkan kasih sayang. Yakinkan pada anak bahwa sekalipun orang tuanya berpisah, mereka akan tetap mencintai anak. Jalin hubungan dengan anak melalui telepon atau saling berkunjung, karena sesungguhnya tidak ada yang namanya bekas anak atau bekas orang tua.
Meski begitu, tak seharusnya tergesa menempuh jalan ini. Karena hancurnya keluarga senantiasa berimbas pada kualitas kehidupan dan generasi masa depan.
Meski begitu, tak seharusnya tergesa menempuh jalan ini. Karena hancurnya keluarga senantiasa berimbas pada kualitas kehidupan dan generasi masa depan.